Banyak penelitian telah membuktikan pentingnya sarapan dalam mempengaruhi kualitas diet dan menurunkan risiko obesitas.
Special Supplemental Nutrition Program for Women, Infants, and Children (WIC) telah memberikan edukasi kepada lebih dari 8 juta ibu dan anak setiap tahunnya melalui edukasi individual maupun kelompok yang diberikan di klinik. Saat ini teknologi sudah sangat berkembang. WIC melakukan pengembangan edukasi mengenai nutrisi melalui internet. Efektivitas edukasi sarapan melalui internet belum banyak diteliti.
WIC melalukan penelitian terhadap 590 orang yang terbagi menjadi dua kelompok. 359 orang mengikuti edukasi kelompok di klinik, sedangkan sisanya mengikuti edukasi kelompok secara online.
Edukasi berfokus pada bagaimana agar tidak melewatkan sarapan dan memilih sarapan yang sehat untuk keluarga. Kedua kelompok diberikan questionare mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku tentang sarapan baik sebelum mengikuti program maupun sesudah mengikuti program. Baik kelompok yang mendapatkan edukasi di klinik maupun kelompok yang mendapatkan edukasi secara online mengalami peningkatan yang sama.
Penemuan ini menggarisbawahi mengenai penggunaan internet sebagai media edukasi yang sangat potensial untuk mengubah gaya hidup masyarakat.
Referensi:
Lauren E. Au, Shannon Whaley, Nila J. Rosen, Martha Meza, Lorrene D. Ritchie. Online
and In-Person Nutrition Education Improves Breakfast Knowledge,
Attitudes, and Behaviors: A Randomized Trial of Participants in the
Special Supplemental Nutrition Program for Women, Infants, and Children. Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics, 2015; DOI: 10.1016/j.jand.2015.10.012
Temukan cara diet dan hidup sehat ala dokter yang terbukti secara ilmiah
Tuesday, December 15, 2015
Obesitas meningkatkan penyebaran kanker indung telur
Peningkatan indeks massa tubuh telah lama terbukti meningkatkan risiko kanker indung telur. Penelitian terbaru ini membuktikan bahwa obesitas tidak hanya meningkatkan risiko kanker indung telur, namun juga meningkatkan penyebaran kanker. Dengan kata lain, sel kanker lebih mudah menyebar pada tubuh orang yang gemuk.
Kanker indung telur merupakan penyakit yang mematikan. Selain sulit terdeteksi, penyakit ini juga sangat progresif. Lebih dari 75% wanita yang terdiagnosis menderita kanker indung telur ternyata sudah terdapat penyebaran saat mereka baru terdiagnosis.
Riset terbaru yang dipimpin oleh M. Sharon Stack dari University of Notre Dame melakukan penelitian dengan model jaringan 3 Dimensi. Mereka menemukan bahwa sel tumor dapat menyebar dengan cara menempel pada sel yang ada di rongga perut yaitu sel mesotelial. Dalam lingkungan yang terdapat banyak lemak, kemampuan sel tumor untuk menempel pada sel ini dapat meningkat. Kemudian, para peneliti melakukan penelitian lanjutan dengan model tikus.
Tikus percobaan diberikan diet tinggi lemak dan dibandingkan dengan tikus kontrol yang diberikan diet standard. Ketika kelompok tikus yang diberikan diet tinggi lemak telah memiliki berat badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol, kedua kelompok tikus tersebut diinjeksi dengan sel kanker yang sudah diberi flurosensi agar mudah dilacak.
Setelah dilakukan follow up, sel kanker pada tikus yang memiliki berat badan yang lebih tinggi akan menyebar ke lebih banyak organ.
Para peneliti berharap penelitian selanjutnya dapat menemukan program diet yang dapat menghambat penyebaran sel kanker.
Referensi:
Y. Liu, M. N. Metzinger, K. A. Lewellen, S. N. Cripps, K. D. Carey, E. I. Harper, Z. Shi, L. Tarwater, A. Grisoli, E. Lee, A. Slusarz, J. Yang, E. A. Loughran, K. Conley, J. J. Johnson, Y. Klymenko, L. Bruney, Z. Liang, N. J. Dovichi, B. Cheatham, W. M. Leevy, M. S. Stack. Obesity Contributes to Ovarian Cancer Metastatic Success through Increased Lipogenesis, Enhanced Vascularity, and Decreased Infiltration of M1 Macrophages. Cancer Research, 2015; 75 (23): 5046 DOI: 10.1158/0008-5472.CAN-15-0706
Kanker indung telur merupakan penyakit yang mematikan. Selain sulit terdeteksi, penyakit ini juga sangat progresif. Lebih dari 75% wanita yang terdiagnosis menderita kanker indung telur ternyata sudah terdapat penyebaran saat mereka baru terdiagnosis.
Riset terbaru yang dipimpin oleh M. Sharon Stack dari University of Notre Dame melakukan penelitian dengan model jaringan 3 Dimensi. Mereka menemukan bahwa sel tumor dapat menyebar dengan cara menempel pada sel yang ada di rongga perut yaitu sel mesotelial. Dalam lingkungan yang terdapat banyak lemak, kemampuan sel tumor untuk menempel pada sel ini dapat meningkat. Kemudian, para peneliti melakukan penelitian lanjutan dengan model tikus.
Tikus percobaan diberikan diet tinggi lemak dan dibandingkan dengan tikus kontrol yang diberikan diet standard. Ketika kelompok tikus yang diberikan diet tinggi lemak telah memiliki berat badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol, kedua kelompok tikus tersebut diinjeksi dengan sel kanker yang sudah diberi flurosensi agar mudah dilacak.
Setelah dilakukan follow up, sel kanker pada tikus yang memiliki berat badan yang lebih tinggi akan menyebar ke lebih banyak organ.
Para peneliti berharap penelitian selanjutnya dapat menemukan program diet yang dapat menghambat penyebaran sel kanker.
Referensi:
Y. Liu, M. N. Metzinger, K. A. Lewellen, S. N. Cripps, K. D. Carey, E. I. Harper, Z. Shi, L. Tarwater, A. Grisoli, E. Lee, A. Slusarz, J. Yang, E. A. Loughran, K. Conley, J. J. Johnson, Y. Klymenko, L. Bruney, Z. Liang, N. J. Dovichi, B. Cheatham, W. M. Leevy, M. S. Stack. Obesity Contributes to Ovarian Cancer Metastatic Success through Increased Lipogenesis, Enhanced Vascularity, and Decreased Infiltration of M1 Macrophages. Cancer Research, 2015; 75 (23): 5046 DOI: 10.1158/0008-5472.CAN-15-0706
Buang Lemak Dari Pankreas, Diabetes Dapat Disembuhkan!
Para ilmuwan dari Newcastle menemukan bahwa penumpukan lemak di sekitar pankreas berperan dalam mekanisme terjadinya penyakit diabetes tipe 2. Mereka juga menyebutkan bahwa memangkas lemak yang berada di pankreas sebesar 1 gram saja dapat mengembalikan fungsi pankreas dan menyembuhkan diabetes.
Diabetes Tipe 2 telah menyerang hampir 10% dari seluruh jumlah masyarakat di dunia. Jika dahulu hanya orang dewasa yang bisa terkena penyakit kencing manis ini, saat ini banyak remaja dan anak-anak yang sudah terkena diabetes. Penyakit ini menyebabkan terlalu banyak kadar gula yang beredar di dalam darah yang disebabkan karena pankreas tidak bisa menghasilkan insulin yang cukup atau insulin yang beredar di dalam darah tidak bisa bekerja dengan baik. Insulin merupakan hormon yang bertugas memecah gula menjadi energi yang dapat digunakan oleh sel-sel tubuh manusia.
Dalam penelitian ini, para peneliti yang dipimpin oleh Profesor Roy Taylor melibatkan 18 orang dengan diabetes dan 9 orang tanpa diabetes. Para responden tersebut diukur berat badan, banyaknya lemak di pankreas, dan respon insulin baik sebelum maupun sesudah operasi bariatrik. Para responden tersebut sudah diseleksi yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan terapi operasi bariatrik. Setelah dilakukan operasi, kelompok yang menderita diabetes tidak lagi diberikan pengobatan diabetes.
Kelompok yang menderita diabetes memiliki lemak di pankreas lebih banyak dibanding kelompok yang tidak menderita diabetes. Setelah dilakukan operasi, kedua kelompok responden memperlihatkan penurunan berat badan yang sama, yaitu sekitar 13% dari berat badan sebelum operasi. Jumlah lemak di pankreas pada kelompok penderita diabetes juga kembali ke normal setelah dilakukan operasi bariatrik.
Hal ini menunjukkan bahwa kelebihan lemak di daerah pankreas merupakan tanda yang spesifik pada penderita diabetes tipe 2. Inilah yang menyebabkan produksi dan kerja insulin menjadi terganggu. Ketika kelebihan lemak di pankreas dihilangkan, produksi insulin kembali normal. Dengan kata lain, penyakit diabetes sudah sembuh.
Profesor Taylor mengatakan, "Untuk penderita diabetes tipe 2, penurunan berat badan akan membantu membuang lemak yang ada di sekitar pankreas sehingga organ ini dapat bekerja kembali dengan normal. Jika Anda bertanya mengenai berapa penurunan berat badan yang dibutuhkan agar penyakit diabetes dapat disembuhkan, jawabannya adalah hanya 1 gram. Namun, 1 gram ini merupakan lemak yang dibuang dari sekitar pankreas. Saat ini, cara untuk mencapai hal itu adalah dengan melakukan pembatasan kalori dengan diet atau dengan operasi."
Penemuan ini akan mengubah pemikiran kita mengenai diabetes. Dahulu, diabetes tipe 2 dianggap penyakit kronis yang progresif dan tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikontrol dengan perubahan gaya hidup sehat dan obat ataupun insulin. Penelitian yang dilakukan Profesor Taylor dan tim ini telah menggarisbawahi pentingnya penurunan berat badan untuk membuang lemak di daerah pankreas sehingga dapat mengembalikan fungsi insulin pada penderita diabetes menjadi normal kembali.
Referensi:
Sarah Steven, Kieren G. Hollingsworth, Peter K. Small, Sean A. Woodcock, Andrea Pucci, Benjamin Aribisala, Ahmad Al-Mrabeh, Ann K. Daly, Rachel L. Batterham, and Roy Taylor. Weight Loss Decreases Excess Pancreatic Triacylglycerol Specifically in Type 2 Diabetes. Diabetes Care, December 2015 DOI: 10.2337/dc15-0750
http://zuraydasakina.blog.fc2.com/blog-entry-8.html
Tuesday, November 24, 2015
Cegah kematian bayi dengan mengurangi kelebihan berat badan Anda sebelum hamil
Mencapai berat badan yang sehat sebelum hamil dan mendapatkan kenaikan berat badan yang tepat selama kehamilan secara signifikan mengurangi risiko kematian bayi. Ini lah hasil terbaru menurut penelitian dari University of Pittsburgh Graduate School of Public Health.
Temuan yang dipublikasikan secara online dalam edisi Februari dari jurnal Obesity, menyoroti perlunya pendekatan komprehensif untuk mengurangi obesitas di kalangan wanita usia reproduksi yang meliputi konseling berat badan sebelum hamil dan selama kehamilan. Penelitian ini didanai oleh National Institutes of Health (NIH).
"Satu dari tiga wanita mulai hamil dengan berat badan yang tidak sehat, dan lebih dari setengah dari perempuan mengalami kenaikan berat badan yang berlebihan selama kehamilan," kata peneliti, Lisa Bodnar, Ph.D., MPH, RD. "Sementara penelitian lebih lanjut perlu dilakukan, kami berharap bahwa penelitian ini dapat digunakan untuk memulai dialog antara dokter dan wanita usia reproduksi tentang pentingnya mendapatkan kenaikan berat badan yang tepat saat hamil, tetapi juga mengurangi kelebihan berat badan sebelum mereka hamil sebagai cara potensial untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi. "
Setiap tahun, sekitar 24.000 bayi meninggal pada tahun pertama kehidupan mereka di Amerika Serikat. Para peneliti memeriksa catatan dari lebih dari 1,2 juta kelahiran yang terjadi 2003-2011 di Pennsylvania, termasuk 5.530 kematian bayi. Kematian bayi didefinisikan sebagai kematian bayi sebelum ulang tahun pertamanya.
Para ibu diklasifikasikan sebagai underweight, berat badan normal, kelebihan berat badan atau obesitas, berdasarkan indeks massa tubuh sebelum hamil. Dalam setiap kelompok berat badan, para peneliti juga meneliti dampak kenaikan berat badan yang tidak tepat selama hamil terhadap kematian bayi. Kenaikan berat badan selama hamil yang direkomendasikan adalah 25 sampai 35 pound untuk wanita dengan berat badan normal atau 11-20 pound untuk wanita dengan kelebihan berat badan sebelum hamil.
"Obesitas dan kematian bayi adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling penting saat ini," kata salah satu penulis, Katherine Himes, MD, asisten profesor di Departemen Obstetri dan Ginekologi, Pittsburgh Graduate School of Public Health.
Referensi:
Lisa M. Bodnar, Lara L. Siminerio, Katherine P. Himes, Jennifer A. Hutcheon, Timothy L. Lash, Sara M. Parisi, Barbara Abrams. Maternal obesity and gestational weight gain are risk factors for infant death. Obesity, 2015; DOI: 10.1002/oby.21335
Temuan yang dipublikasikan secara online dalam edisi Februari dari jurnal Obesity, menyoroti perlunya pendekatan komprehensif untuk mengurangi obesitas di kalangan wanita usia reproduksi yang meliputi konseling berat badan sebelum hamil dan selama kehamilan. Penelitian ini didanai oleh National Institutes of Health (NIH).
"Satu dari tiga wanita mulai hamil dengan berat badan yang tidak sehat, dan lebih dari setengah dari perempuan mengalami kenaikan berat badan yang berlebihan selama kehamilan," kata peneliti, Lisa Bodnar, Ph.D., MPH, RD. "Sementara penelitian lebih lanjut perlu dilakukan, kami berharap bahwa penelitian ini dapat digunakan untuk memulai dialog antara dokter dan wanita usia reproduksi tentang pentingnya mendapatkan kenaikan berat badan yang tepat saat hamil, tetapi juga mengurangi kelebihan berat badan sebelum mereka hamil sebagai cara potensial untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi. "
Setiap tahun, sekitar 24.000 bayi meninggal pada tahun pertama kehidupan mereka di Amerika Serikat. Para peneliti memeriksa catatan dari lebih dari 1,2 juta kelahiran yang terjadi 2003-2011 di Pennsylvania, termasuk 5.530 kematian bayi. Kematian bayi didefinisikan sebagai kematian bayi sebelum ulang tahun pertamanya.
Para ibu diklasifikasikan sebagai underweight, berat badan normal, kelebihan berat badan atau obesitas, berdasarkan indeks massa tubuh sebelum hamil. Dalam setiap kelompok berat badan, para peneliti juga meneliti dampak kenaikan berat badan yang tidak tepat selama hamil terhadap kematian bayi. Kenaikan berat badan selama hamil yang direkomendasikan adalah 25 sampai 35 pound untuk wanita dengan berat badan normal atau 11-20 pound untuk wanita dengan kelebihan berat badan sebelum hamil.
"Obesitas dan kematian bayi adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling penting saat ini," kata salah satu penulis, Katherine Himes, MD, asisten profesor di Departemen Obstetri dan Ginekologi, Pittsburgh Graduate School of Public Health.
Referensi:
Lisa M. Bodnar, Lara L. Siminerio, Katherine P. Himes, Jennifer A. Hutcheon, Timothy L. Lash, Sara M. Parisi, Barbara Abrams. Maternal obesity and gestational weight gain are risk factors for infant death. Obesity, 2015; DOI: 10.1002/oby.21335
Ini Dia Alasan Pentingnya Program Diet Secara Personal!
Para ilmuwan telah merilis hasil penelitian terbaru mengenai pentingnya program diet secara personal yang disusun berdasarkan faktor-faktor yang kompleks seperti mikroba usus dan gaya hidup. Hal itu disebabkan karena ternyata makanan yang sama dapat meningkatkan kadar gula darah yang berbeda antar individu.
Mana yang lebih mungkin untuk meningkatkan kadar gula darah: sushi atau es krim? Menurut Weizmann Institute of Science, jawabannya bervariasi dari satu orang ke orang lain. Penelitian yang dilakukan pada 800 orang yang kadar gulanya dipantau terus menerus selama 1 minggu mengungkapkan bahwa respon tubuh untuk semua makanan itu sangat individual.
Prof. Segal mengatakan, "Kami memilih untuk fokus pada gula darah karena peningkatan kadar merupakan faktor risiko utama untuk diabetes, obesitas, dan sindrom metabolik lainnya. Hasil besar yang kami temukan adalah adanya perbedaan kenaikan kadar gula darah antara individu yang satu dengan yang lainnya yang mengkonsumsi makanan yang identik. Oleh karena itu, penting untuk membantu setiap orang makanan yang sesuai untuknya dibandingkan memberikan saran diet secara universal."
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang mendasari respon kenaikan glukosa darah setiap orang terhadap makanan yang dia makan. Faktor tersebut nantinya akan bermanfaat untuk mengembangkan rekomendasi diet secara personal yang dapat mencegah obesitas, diabetes, dan sindrom metabolik yang lainnya.
Referensi:
David Zeevi, Tal Korem, Niv Zmora, David Israeli, Daphna Rothschild, Adina Weinberger, Orly Ben-Yacov, Dar Lador, Tali Avnit-Sagi, Maya Lotan-Pompan, Jotham Suez, Jemal Ali Mahdi, Elad Matot, Gal Malka, Noa Kosower, Michal Rein, Gili Zilberman-Schapira, Lenka Dohnalová, Meirav Pevsner-Fischer, Rony Bikovsky, Zamir Halpern, Eran Elinav, Eran Segal. Personalized Nutrition by Prediction of Glycemic Responses. Cell, 2015; 163 (5): 1079 DOI: 10.1016/j.cell.2015.11.001
http://maternitymaxidresses.blog.com/2015/11/23/chrissy-teigens-sexy-dress-with-john-legend-self-portrait-in-los-angeles/
https://cheapmaternitymaxidresses.wordpress.com/2015/11/23/more-sexy-with-ultra-low-cut-dress/
http://maternitymaxidresses.tumblr.com/post/133772360383/24-hours-on-balmain-dress-from-hm
Mana yang lebih mungkin untuk meningkatkan kadar gula darah: sushi atau es krim? Menurut Weizmann Institute of Science, jawabannya bervariasi dari satu orang ke orang lain. Penelitian yang dilakukan pada 800 orang yang kadar gulanya dipantau terus menerus selama 1 minggu mengungkapkan bahwa respon tubuh untuk semua makanan itu sangat individual.
Prof. Segal mengatakan, "Kami memilih untuk fokus pada gula darah karena peningkatan kadar merupakan faktor risiko utama untuk diabetes, obesitas, dan sindrom metabolik lainnya. Hasil besar yang kami temukan adalah adanya perbedaan kenaikan kadar gula darah antara individu yang satu dengan yang lainnya yang mengkonsumsi makanan yang identik. Oleh karena itu, penting untuk membantu setiap orang makanan yang sesuai untuknya dibandingkan memberikan saran diet secara universal."
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang mendasari respon kenaikan glukosa darah setiap orang terhadap makanan yang dia makan. Faktor tersebut nantinya akan bermanfaat untuk mengembangkan rekomendasi diet secara personal yang dapat mencegah obesitas, diabetes, dan sindrom metabolik yang lainnya.
Referensi:
David Zeevi, Tal Korem, Niv Zmora, David Israeli, Daphna Rothschild, Adina Weinberger, Orly Ben-Yacov, Dar Lador, Tali Avnit-Sagi, Maya Lotan-Pompan, Jotham Suez, Jemal Ali Mahdi, Elad Matot, Gal Malka, Noa Kosower, Michal Rein, Gili Zilberman-Schapira, Lenka Dohnalová, Meirav Pevsner-Fischer, Rony Bikovsky, Zamir Halpern, Eran Elinav, Eran Segal. Personalized Nutrition by Prediction of Glycemic Responses. Cell, 2015; 163 (5): 1079 DOI: 10.1016/j.cell.2015.11.001
http://maternitymaxidresses.blog.com/2015/11/23/chrissy-teigens-sexy-dress-with-john-legend-self-portrait-in-los-angeles/
https://cheapmaternitymaxidresses.wordpress.com/2015/11/23/more-sexy-with-ultra-low-cut-dress/
http://maternitymaxidresses.tumblr.com/post/133772360383/24-hours-on-balmain-dress-from-hm
Sunday, November 15, 2015
Kelebihan Berat Badan Meningkatkan Risiko Kanker Usus Besar
Para ahli yang berbicara pada 23rd United European Gastroenterology Week (UEG Week 2015) di Barcelona, Spanyol mengungkapkan bukti kuat dari hubungan antara kelebihan berat badan dan risiko kanker usus besar. John Mathers, Profesor Nutrisi Manusia dari Institute of Medicine Seluler di Newcastle University di Inggris menyajikan data yang menunjukkan peningkatan secara keseluruhan 18% risiko relatif kanker usus besar setiap 5 unit peningkatan BMI.
"Selain itu, pada pria, sekarang ada bukti bahwa peningkatan lingkar pinggang di usia pertengahan dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker usus besar," kata Prof Mathers. Risiko kanker usus besar itu meningkat hampir 60% pada pria yang mengalami peningkatan lingkar pinggang sekurangnya 10 cm selama 10 tahun. "Risiko kanker ini meningkat mungkin karena peradangan persisten pada orang dengan obesitas."
Prof. Mathers mengatakan "Sekarang ada bukti yang meyakinkan bahwa perubahan gaya hidup, memilih nutrisi yang baik dan seimbang serta menjadi lebih aktif secara fisik, dapat membantu mencegah obesitas dan ini akan menurunkan risiko kanker usus besar." Selain itu, bagi orang-orang yang sudah kelebihan berat badan, penurunan badan dapat mengurangi risiko kanker usus besar , tetapi ini adalah area yang memerlukan studi lebih lanjut.
"Kanker usus besar sangat terkait dengan usia, obesitas dan diet - dan didorong oleh peradangan," jelas Prof Mathers. "Kami sekarang dapat memberikan saran yang jelas masyarakat tentang manfaat tetap aktif secara fisik, makan makanan yang sehat dan menghindari kenaikan berat badan untuk menurunkan risiko kanker usus besar.
Selain dapat menurunkan risiko kanker usus besar, memiliki badan yang ideal juga akan memudahkanmu dalam memilih dress favoritmu lho. Jika lebih leluasa dalam memilih pakaian, kamu pun bisa mengenakan dress seksi impianmu di hari pernikahan.
"Selain itu, pada pria, sekarang ada bukti bahwa peningkatan lingkar pinggang di usia pertengahan dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker usus besar," kata Prof Mathers. Risiko kanker usus besar itu meningkat hampir 60% pada pria yang mengalami peningkatan lingkar pinggang sekurangnya 10 cm selama 10 tahun. "Risiko kanker ini meningkat mungkin karena peradangan persisten pada orang dengan obesitas."
Prof. Mathers mengatakan "Sekarang ada bukti yang meyakinkan bahwa perubahan gaya hidup, memilih nutrisi yang baik dan seimbang serta menjadi lebih aktif secara fisik, dapat membantu mencegah obesitas dan ini akan menurunkan risiko kanker usus besar." Selain itu, bagi orang-orang yang sudah kelebihan berat badan, penurunan badan dapat mengurangi risiko kanker usus besar , tetapi ini adalah area yang memerlukan studi lebih lanjut.
"Kanker usus besar sangat terkait dengan usia, obesitas dan diet - dan didorong oleh peradangan," jelas Prof Mathers. "Kami sekarang dapat memberikan saran yang jelas masyarakat tentang manfaat tetap aktif secara fisik, makan makanan yang sehat dan menghindari kenaikan berat badan untuk menurunkan risiko kanker usus besar.
Selain dapat menurunkan risiko kanker usus besar, memiliki badan yang ideal juga akan memudahkanmu dalam memilih dress favoritmu lho. Jika lebih leluasa dalam memilih pakaian, kamu pun bisa mengenakan dress seksi impianmu di hari pernikahan.
Monday, October 26, 2015
4 Fakta Bahaya Konsumsi Daging Merah Telah Terungkap!
Bahaya Daging Merah Telah Terungkap! Steak sapi, iga sapi, rendang, dan aneka makanan berbahan daging sapi yang lain sungguh sangat menggiurkan. Sapi yang tergolong kedalam daging merah, sebenarnya mengandung banyak nutrisi yang diperlukan tubuh, seperti protein dan kalsium. Namun, dampak konsumsi daging merah bagi kesehatan hingga hari ini masih menjadi perdebatan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa konsumsi daging merah yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Anda pasti tidak asing lagi dengan anjuran untuk lebih banyak mengkonsumsi daging putih seperti ayam dan ikan dibanding dengan konsumsi daging berwarna merah. Apa saja bahaya yang dapat ditimbulkan dari konsumsi daging merah yang berlebihan?
1. Konsumsi daging merah meningkatkan risiko penyakit jantung
Sebuah studi baru dari Harvard School of Public Health (HSPH) telah menemukan bahwa konsumsi daging merah berhubungan dengan peningkatan risiko kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mengganti daging merah dengan sumber protein yang lebih sehat, seperti ikan, unggas, kacang-kacangan, dan kacang-kacangan, akan menurunkan risiko kematian akibat penyakit jantung.
Studi ini telah dipublikasikan secara online dalam Archives of Internal Medicine pada 12 Maret 2012.
"Studi kami menambahkan lebih banyak bukti untuk risiko kesehatan dari konsumsi daging merah yang berlebihan. Sebelumnya, konsumsi daging merah telah dikaitkan dengan diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner, stroke, dan kanker tertentu dalam penelitian lain," kata pemimpin penulis An Pan, peneliti di Departemen Gizi HSPH di.
Para peneliti, termasuk penulis senior Frank Hu, profesor nutrisi dan epidemiologi di HSPH, mengamati 37.698 pria dari Health Professionals Follow-up Study hingga 22 tahun dan 83.644 perempuan di Nurses 'Health Study hingga 28 tahun yang pada awalnya tidak memiliki penyakit kardiovaskular (CVD) dan kanker. Penilaian Diet dilakukan melalui kuesioner setiap empat tahun.
Total 23.926 kematian didokumentasikan dalam dua studi tersebut, yang berasal dari 5.910 CVD dan 9464 dari kanker. Konsumsi secara teratur daging merah, daging merah terutama olahan, dikaitkan dengan risiko kematian yang meningkat. Satu porsi harian dari daging merah yang belum diproses (sekitar ukuran sebesar setumpuk dari kartu) dikaitkan dengan 13% peningkatan risiko kematian, dan satu porsi harian dari daging merah olahan (satu hot dog atau dua iris daging asap) dikaitkan dengan 20% peningkatan risiko.
Daging merah, terutama daging olahan, mengandung bahan yang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kronis, seperti penyakit jantung dan kanker. Ini termasuk besi heme, lemak jenuh, sodium, nitrit, dan karsinogen tertentu yang terbentuk selama memasak.
Mengganti satu porsi daging merah dengan satu porsi sumber protein yang sehat dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah kematian: 7% untuk ikan, 14% untuk unggas, 19% untuk kacang, 10% untuk kacang-kacangan, 10% untuk susu rendah lemak produk, dan 14% untuk biji-bijian. Para peneliti memperkirakan bahwa 9,3% dari kematian pada pria dan 7,6% pada wanita dapat dicegah pada akhir tindak lanjut jika semua peserta telah mengkonsumsi kurang dari 0,5 porsi per hari dari daging merah.
"Studi ini memberikan bukti jelas bahwa konsumsi rutin daging merah, terutama daging olahan, memberi kontribusi besar untuk kematian dini akibat penyakit jantung," kata Hu. "Di sisi lain, memilih sumber protein yang lebih sehat dapat memberikan manfaat kesehatan yang signifikan dengan mengurangi morbiditas penyakit kronis dan kematian."
2. Konsumsi daging merah memperburuk kesehatan ginjal
Donald Wesson, MD, merupakan salah satu penulis dari studi yang baru-baru dipublikasikan secara online oleh Journal of American Society of Nephrology. Studi ini menunjukkan bahwa diet tinggi protein hewani - terutama daging merah - dapat memperburuk penyakit ginjal.
"Studi kami menemukan bahwa pasien dengan penyakit ginjal kronis yang mengkonsumsi diet tinggi protein hewani tiga kali lebih mungkin untuk menjadi gagal ginjal dibandingkan pasien yang mengkonsumsi diet tinggi buah-buahan dan sayuran," kata Wesson.
Temuan itu berdasarkan data yang dikumpulkan dari 1.486 orang dewasa dengan penyakit ginjal kronis yang berpartisipasi dalam National Health dan Nutrition Examination Survey III. Studi ini diyakini menjadi penelitian terbesar yang melihat dampak jangka panjang dari diet pada penyakit ginjal pada manusia.
Wesson menjelaskan bahwa ketika manusia makan protein hewani seperti daging merah, tubuh memetabolisme protein ini menjadi asam. Ginjal menghasilkan zat untuk membantu tubuh membersihkan diri dari asam ini, tapi zat ini bisa melukai fungsi ginjal jika mereka tetap pada tingkat tinggi dalam tubuh selama jangka waktu.
"Ini seperti pedang bermata dua," kata Wesson. "Dalam jangka pendek zat ini dapat membantu ginjal membuang asam, tetapi dalam jangka panjang mereka dapat mengurangi fungsi ginjal."
Wesson telah menghabiskan lebih dari 30 tahun mempelajari dampak diet pada penyakit ginjal. Studinya telah menunjukkan bahwa ketika hewan atau manusia beralih dari diet tinggi protein hewani untuk satu tinggi protein nabati seperti buah-buahan dan sayuran, fungsi ginjal dilindungi. Hal ini karena tubuh memetabolisme protein tanaman menjadi basa, bukan asam.
3. Daging Merah Berkaitan Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2
Sebuah studi baru oleh Harvard School of Public Health (HSPH) menemukan hubungan yang kuat antara konsumsi daging merah dan peningkatan risiko diabetes tipe 2. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mengganti daging merah dengan protein sehat, seperti susu rendah lemak, kacang-kacangan, atau biji-bijian, secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit kencing manis tersebut.
Penelitian yang dipimpin oleh An Pan, peneliti di Departemen Gizi HSPH, telah dipublikasikan secara online dalam American Journal of Clinical Nutrition pada 10 Agustus 2011 dan muncul dalam edisi cetak Oktober.
Pan, penulis senior Frank Hu, profesor nutrisi dan epidemiologi di HSPH, dan rekannya menganalisis tanggapan kuesioner dari 37.083 laki-laki diikuti selama 20 tahun di Health Professionals Follow-Up Study; 79.570 wanita diikuti selama 28 tahun di Nurses 'Health Study I; dan 87.504 wanita diikuti selama 14 tahun di Nurses 'Health Study II. Mereka juga melakukan meta-analisis diperbarui, menggabungkan data dari studi baru mereka dengan data dari studi yang ada yang mencakup total 442.101 peserta, 28.228 di antaranya dikembangkan diabetes tipe 2 selama penelitian. Setelah disesuaikan dengan usia, indeks massa tubuh (BMI), dan gaya hidup lainnya dan faktor risiko diet, para peneliti menemukan bahwa 100-gram porsi harian dari daging merah yang belum diproses (sekitar ukuran sebesar setumpuk dari kartu) dikaitkan dengan 19% peningkatan risiko diabetes tipe 2. Mereka juga menemukan bahwa satu porsi harian dari setengah jumlah daging olahan - 50 gram (misalnya, satu hot dog atau sosis atau dua iris daging asap) - dikaitkan dengan 51% peningkatan risiko.
"Jelas, hasil dari penelitian ini memiliki implikasi kesehatan masyarakat yang sangat besar mengingat meningkatnya epidemi diabetes tipe 2 dan peningkatan konsumsi daging merah di seluruh dunia," kata Hu. "Kabar baiknya adalah bahwa faktor risiko yang mengganggu tersebut dapat diimbangi dengan menukar daging merah dengan sumber protein yang lebih sehat."
Para peneliti menemukan bahwa, bagi seorang individu yang makan satu porsi harian dari daging merah, mengganti satu porsi kacang per hari dikaitkan dengan risiko 21% lebih rendah dari diabetes tipe 2; mengganti susu rendah lemak, risiko 17% lebih rendah; dan mengganti biji-bijian, risiko 23% lebih rendah.
"Penelitian kami jelas menunjukkan bahwa makan daging merah baik diproses dan diproses - khususnya olahan - dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2," kata Pan. Dia mencatat bahwa pedoman diet di Amerika Tahun 2010 memasukkan daging merah bersama-sama dengan ikan, unggas, telur, kacang-kacangan, biji-bijian, kacang-kacangan, dan produk kedelai kedalam kelompok yang sama dalam kelompok sumber protein. Tapi karena daging merah tampaknya memiliki efek kesehatan negatif yang signifikan - meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, dan bahkan kematian total, seperti yang disarankan oleh beberapa studi terbaru - Pan menyarankan pedoman harus memisahkan daging merah dari sumber protein sehat dan mempromosikan sumber protein sehat sebagai gantinya."
4. Makan Daging Merah Berlebihan Berisiko Kanker Usus
Laporan terbaru memperingatkan tentang hubungan antara makan daging merah dan risiko terkena kanker usus. Laporan-laporan ini telah menghasilkan rekomendasi gizi baru yang menyarankan orang-orang untuk membatasi konsumsi daging merah dan olahan.
Ulasan ini membahas studi terbaru tentang hubungan antara konsumsi daging merah dan risiko kanker pada manusia. Hubungan antara konsumsi daging merah dan kanker relatif kecil, tetapi konsisten, dan masih dapat menimbulkan dampak kesehatan yang serius.
Referensi
An Pan, Qi Sun, Adam M. Bernstein, Matthias B. Schulze, JoAnn E. Manson, Meir J. Stampfer, Walter C. Willett, Frank B. Hu. Red Meat Consumption and Mortality. Archives of Internal Medicine, March 12, 2012 DOI: 10.1001/archinternmed.2011.2287
T. Banerjee, D. C. Crews, D. E. Wesson, A. M. Tilea, R. Saran, N. Rios-Burrows, D. E. Williams, N. R. Powe. High Dietary Acid Load Predicts ESRD among Adults with CKD. Journal of the American Society of Nephrology, 2015; DOI: 10.1681/ASN.2014040332
Marije Oostindjer, Jan Alexander, Gro Vang Amdam, Grethe Andersen, Nathan S. Bryan, Duan Chen, Denis E. Corpet, Stefaan De Smet, Lars Ove Dragsted, Anna Haug, Anders H. Karlsson, Gijs Kleter, Theo M. de Kok, Bård Kulseng, Andrew L. Milkowski, Roy J. Martin, Anne-Maria Pajari, Jan Erik Paulsen, Jana Pickova, Knut Rudi, Marianne Sødring, Douglas L. Weed, Bjørg Egelandsdal. The role of red and processed meat in colorectal cancer development: A review, based on findings from a workshop. Meat Science, 2014; DOI: 10.1016/j.meatsci.2014.02.011
An Pan, Qi Sun, Adam M. Bernstein, Matthias B. Schulze, JoAnn E. Manson, Walter C. Willett, and Frank B. Hu. Red Meat Consumption and Risk of Type 2 Diabetes: 3 Cohorts of U.S. Adults and an Updated Meta-Analysis. American Journal of Clinical Nutrition, August 10, 2011
1. Konsumsi daging merah meningkatkan risiko penyakit jantung
Sebuah studi baru dari Harvard School of Public Health (HSPH) telah menemukan bahwa konsumsi daging merah berhubungan dengan peningkatan risiko kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mengganti daging merah dengan sumber protein yang lebih sehat, seperti ikan, unggas, kacang-kacangan, dan kacang-kacangan, akan menurunkan risiko kematian akibat penyakit jantung.
Studi ini telah dipublikasikan secara online dalam Archives of Internal Medicine pada 12 Maret 2012.
"Studi kami menambahkan lebih banyak bukti untuk risiko kesehatan dari konsumsi daging merah yang berlebihan. Sebelumnya, konsumsi daging merah telah dikaitkan dengan diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner, stroke, dan kanker tertentu dalam penelitian lain," kata pemimpin penulis An Pan, peneliti di Departemen Gizi HSPH di.
Para peneliti, termasuk penulis senior Frank Hu, profesor nutrisi dan epidemiologi di HSPH, mengamati 37.698 pria dari Health Professionals Follow-up Study hingga 22 tahun dan 83.644 perempuan di Nurses 'Health Study hingga 28 tahun yang pada awalnya tidak memiliki penyakit kardiovaskular (CVD) dan kanker. Penilaian Diet dilakukan melalui kuesioner setiap empat tahun.
Total 23.926 kematian didokumentasikan dalam dua studi tersebut, yang berasal dari 5.910 CVD dan 9464 dari kanker. Konsumsi secara teratur daging merah, daging merah terutama olahan, dikaitkan dengan risiko kematian yang meningkat. Satu porsi harian dari daging merah yang belum diproses (sekitar ukuran sebesar setumpuk dari kartu) dikaitkan dengan 13% peningkatan risiko kematian, dan satu porsi harian dari daging merah olahan (satu hot dog atau dua iris daging asap) dikaitkan dengan 20% peningkatan risiko.
Daging merah, terutama daging olahan, mengandung bahan yang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kronis, seperti penyakit jantung dan kanker. Ini termasuk besi heme, lemak jenuh, sodium, nitrit, dan karsinogen tertentu yang terbentuk selama memasak.
Mengganti satu porsi daging merah dengan satu porsi sumber protein yang sehat dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah kematian: 7% untuk ikan, 14% untuk unggas, 19% untuk kacang, 10% untuk kacang-kacangan, 10% untuk susu rendah lemak produk, dan 14% untuk biji-bijian. Para peneliti memperkirakan bahwa 9,3% dari kematian pada pria dan 7,6% pada wanita dapat dicegah pada akhir tindak lanjut jika semua peserta telah mengkonsumsi kurang dari 0,5 porsi per hari dari daging merah.
"Studi ini memberikan bukti jelas bahwa konsumsi rutin daging merah, terutama daging olahan, memberi kontribusi besar untuk kematian dini akibat penyakit jantung," kata Hu. "Di sisi lain, memilih sumber protein yang lebih sehat dapat memberikan manfaat kesehatan yang signifikan dengan mengurangi morbiditas penyakit kronis dan kematian."
2. Konsumsi daging merah memperburuk kesehatan ginjal
Donald Wesson, MD, merupakan salah satu penulis dari studi yang baru-baru dipublikasikan secara online oleh Journal of American Society of Nephrology. Studi ini menunjukkan bahwa diet tinggi protein hewani - terutama daging merah - dapat memperburuk penyakit ginjal.
"Studi kami menemukan bahwa pasien dengan penyakit ginjal kronis yang mengkonsumsi diet tinggi protein hewani tiga kali lebih mungkin untuk menjadi gagal ginjal dibandingkan pasien yang mengkonsumsi diet tinggi buah-buahan dan sayuran," kata Wesson.
Temuan itu berdasarkan data yang dikumpulkan dari 1.486 orang dewasa dengan penyakit ginjal kronis yang berpartisipasi dalam National Health dan Nutrition Examination Survey III. Studi ini diyakini menjadi penelitian terbesar yang melihat dampak jangka panjang dari diet pada penyakit ginjal pada manusia.
Wesson menjelaskan bahwa ketika manusia makan protein hewani seperti daging merah, tubuh memetabolisme protein ini menjadi asam. Ginjal menghasilkan zat untuk membantu tubuh membersihkan diri dari asam ini, tapi zat ini bisa melukai fungsi ginjal jika mereka tetap pada tingkat tinggi dalam tubuh selama jangka waktu.
"Ini seperti pedang bermata dua," kata Wesson. "Dalam jangka pendek zat ini dapat membantu ginjal membuang asam, tetapi dalam jangka panjang mereka dapat mengurangi fungsi ginjal."
Wesson telah menghabiskan lebih dari 30 tahun mempelajari dampak diet pada penyakit ginjal. Studinya telah menunjukkan bahwa ketika hewan atau manusia beralih dari diet tinggi protein hewani untuk satu tinggi protein nabati seperti buah-buahan dan sayuran, fungsi ginjal dilindungi. Hal ini karena tubuh memetabolisme protein tanaman menjadi basa, bukan asam.
3. Daging Merah Berkaitan Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2
Sebuah studi baru oleh Harvard School of Public Health (HSPH) menemukan hubungan yang kuat antara konsumsi daging merah dan peningkatan risiko diabetes tipe 2. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mengganti daging merah dengan protein sehat, seperti susu rendah lemak, kacang-kacangan, atau biji-bijian, secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit kencing manis tersebut.
Penelitian yang dipimpin oleh An Pan, peneliti di Departemen Gizi HSPH, telah dipublikasikan secara online dalam American Journal of Clinical Nutrition pada 10 Agustus 2011 dan muncul dalam edisi cetak Oktober.
Pan, penulis senior Frank Hu, profesor nutrisi dan epidemiologi di HSPH, dan rekannya menganalisis tanggapan kuesioner dari 37.083 laki-laki diikuti selama 20 tahun di Health Professionals Follow-Up Study; 79.570 wanita diikuti selama 28 tahun di Nurses 'Health Study I; dan 87.504 wanita diikuti selama 14 tahun di Nurses 'Health Study II. Mereka juga melakukan meta-analisis diperbarui, menggabungkan data dari studi baru mereka dengan data dari studi yang ada yang mencakup total 442.101 peserta, 28.228 di antaranya dikembangkan diabetes tipe 2 selama penelitian. Setelah disesuaikan dengan usia, indeks massa tubuh (BMI), dan gaya hidup lainnya dan faktor risiko diet, para peneliti menemukan bahwa 100-gram porsi harian dari daging merah yang belum diproses (sekitar ukuran sebesar setumpuk dari kartu) dikaitkan dengan 19% peningkatan risiko diabetes tipe 2. Mereka juga menemukan bahwa satu porsi harian dari setengah jumlah daging olahan - 50 gram (misalnya, satu hot dog atau sosis atau dua iris daging asap) - dikaitkan dengan 51% peningkatan risiko.
"Jelas, hasil dari penelitian ini memiliki implikasi kesehatan masyarakat yang sangat besar mengingat meningkatnya epidemi diabetes tipe 2 dan peningkatan konsumsi daging merah di seluruh dunia," kata Hu. "Kabar baiknya adalah bahwa faktor risiko yang mengganggu tersebut dapat diimbangi dengan menukar daging merah dengan sumber protein yang lebih sehat."
Para peneliti menemukan bahwa, bagi seorang individu yang makan satu porsi harian dari daging merah, mengganti satu porsi kacang per hari dikaitkan dengan risiko 21% lebih rendah dari diabetes tipe 2; mengganti susu rendah lemak, risiko 17% lebih rendah; dan mengganti biji-bijian, risiko 23% lebih rendah.
"Penelitian kami jelas menunjukkan bahwa makan daging merah baik diproses dan diproses - khususnya olahan - dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2," kata Pan. Dia mencatat bahwa pedoman diet di Amerika Tahun 2010 memasukkan daging merah bersama-sama dengan ikan, unggas, telur, kacang-kacangan, biji-bijian, kacang-kacangan, dan produk kedelai kedalam kelompok yang sama dalam kelompok sumber protein. Tapi karena daging merah tampaknya memiliki efek kesehatan negatif yang signifikan - meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, dan bahkan kematian total, seperti yang disarankan oleh beberapa studi terbaru - Pan menyarankan pedoman harus memisahkan daging merah dari sumber protein sehat dan mempromosikan sumber protein sehat sebagai gantinya."
4. Makan Daging Merah Berlebihan Berisiko Kanker Usus
Laporan terbaru memperingatkan tentang hubungan antara makan daging merah dan risiko terkena kanker usus. Laporan-laporan ini telah menghasilkan rekomendasi gizi baru yang menyarankan orang-orang untuk membatasi konsumsi daging merah dan olahan.
Ulasan ini membahas studi terbaru tentang hubungan antara konsumsi daging merah dan risiko kanker pada manusia. Hubungan antara konsumsi daging merah dan kanker relatif kecil, tetapi konsisten, dan masih dapat menimbulkan dampak kesehatan yang serius.
Referensi
An Pan, Qi Sun, Adam M. Bernstein, Matthias B. Schulze, JoAnn E. Manson, Meir J. Stampfer, Walter C. Willett, Frank B. Hu. Red Meat Consumption and Mortality. Archives of Internal Medicine, March 12, 2012 DOI: 10.1001/archinternmed.2011.2287
T. Banerjee, D. C. Crews, D. E. Wesson, A. M. Tilea, R. Saran, N. Rios-Burrows, D. E. Williams, N. R. Powe. High Dietary Acid Load Predicts ESRD among Adults with CKD. Journal of the American Society of Nephrology, 2015; DOI: 10.1681/ASN.2014040332
Marije Oostindjer, Jan Alexander, Gro Vang Amdam, Grethe Andersen, Nathan S. Bryan, Duan Chen, Denis E. Corpet, Stefaan De Smet, Lars Ove Dragsted, Anna Haug, Anders H. Karlsson, Gijs Kleter, Theo M. de Kok, Bård Kulseng, Andrew L. Milkowski, Roy J. Martin, Anne-Maria Pajari, Jan Erik Paulsen, Jana Pickova, Knut Rudi, Marianne Sødring, Douglas L. Weed, Bjørg Egelandsdal. The role of red and processed meat in colorectal cancer development: A review, based on findings from a workshop. Meat Science, 2014; DOI: 10.1016/j.meatsci.2014.02.011
An Pan, Qi Sun, Adam M. Bernstein, Matthias B. Schulze, JoAnn E. Manson, Walter C. Willett, and Frank B. Hu. Red Meat Consumption and Risk of Type 2 Diabetes: 3 Cohorts of U.S. Adults and an Updated Meta-Analysis. American Journal of Clinical Nutrition, August 10, 2011
Wednesday, August 5, 2015
Gestasional Diabetes Dapat Dicegah Dengan Intervensi Gaya Hidup Sehat
Gestational diabetes dapat dicegah dengan mudah melalui intervensi gaya hidup secara individual pada wanita berisiko tinggi. Hasil dari penelitian ini yang dipublikasikan oleh University of Helsinky ini sangat menjanjikan harapan kesehatan bagi ibu dan anak.
Prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas meningkat di seluruh dunia. Hingga 60 persen dari wanita usia reproduksi kelebihan berat badan atau obesitas di negara-negara maju. Obesitas merupakan faktor risiko untuk komplikasi kehamilan seperti Diabetes Gestasional, yang pada gilirannya merupakan prediktor terkenal diabetes di masa depan. Diabetes gestasional juga dapat meningkatkan kecenderungan memiliki keturunan diabetes dan gangguan tolernasi glukosa. Dengan demikian, diperlukan intervensi yang efektif bertujuan mencegah diabetes gestasional. Hasil penelitian sebelumnya mengenai pencegahan diabetes gestasional, belum memberikan hasil yang konsisten.
The Finnish gestational diabetes prevention study (RADIEL) dilakukan antara tahun 2008 dan 2014 di tiga rumah sakit bersalin dari wilayah metropolitan Helsinki dan di Rumah Sakit Pusat Karelia Selatan di Lappeenranta. Secara total 293 wanita dengan riwayat diabetes gestasional atau indeks massa tubuh sebelum hamil > 30 kg/m2 diikutkan kedalam penelitian sejak kurang dari 20 minggu kehamilan (berarti 13 minggu kehamilan). Mereka secara acak dialokasikan untuk kelompok intervensi (n = 155) atau kelompok kontrol (n = 138). Para peserta dalam kelompok intervensi menerima konseling individual pada diet, aktivitas fisik dan kontrol berat badan dari perawat terlatif dan memiliki satu pertemuan kelompok dengan konsultan diet. Kelompok kontrol menerima perawatan antenatal standar.
Diabetes gestasional diagnosis didasarkan pada tes toleransi glukosa oral 75g di 24-28 minggu kehamilan.
Intervensi gaya hidup sehat mengurangi kejadian diabetes gestasional sebesar 39 persen pada Ibu Hamil Risiko Tinggi
Ada perbedaan yang signifikan dalam diabetes gestasional antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Insiden diabetes gestasional adalah 13,9 persen pada kelompok intervensi dan 21,6 persen pada kelompok kontrol. Berat badan kehamilan lebih rendah pada kelompok intervensi, dan wanita pada kelompok intervensi juga meningkatkan aktivitas fisik waktu luang mereka lebih banyak dan meningkatkan kualitas diet mereka dibandingkan dengan wanita pada kelompok kontrol.
"Sebuah intervensi gaya hidup sederhana dan individual mengurangi kejadian diabetes gestasional sebesar 39 persen dalam risiko tinggi ibu hamil," kata Dokter Saila Koivusalo dari Helsinki University Hospital. "Satu penjelasan yang mungkin untuk ini hasil yang sangat baik adalah status berisiko tinggi dari perempuan direkrut untuk studi RADIEL. Dalam beberapa intervensi gaya hidup sebelumnya mempelajari perempuan direkrut hanya pada risiko yang sederhana untuk mengembangkan diabetes gestasional, atau terdiri dari kelompok heterogen perempuan .
" Dalam penelitian ini intervensi ditargetkan pada wanita berisiko tinggi dengan riwayat diabetes gestasional dan / atau BMI> 30 kg / m2. Kehamilan adalah waktu yang luar biasa untuk perubahan gaya hidup, dan konseling yang diberikan harus individual. "Dalam RADIEL kami dianggap preferensi pribadi dari para peserta dalam konseling aktivitas fisik, yang mungkin membantu mereka untuk terlibat dalam kegiatan. Konseling itu juga dimodifikasi selama kehamilan bila diperlukan. Misalnya, jika kontraksi antenatal terjadi, dan peserta tidak dapat latihan , konseling lebih difokuskan pada aspek cara diet sehat.
Ide utama saran gaya hidup yang diberikan itu harus mudah dilaksanakan dan berlaku untuk kehidupan sehari-hari, Dr. Koivusalo menjelaskan. Temuan dari uji coba ini adalah menjanjikan, dan hasil dari tindak lanjut studi diharapkan pada tahun 2017. "Ini akan menarik untuk melihat apakah hasil kami memiliki konsekuensi bagi kesehatan kemudian ibu dan anak," kata Dr Koivusalo.
Referensi: Saila B. Koivusalo, Kristiina Rönö, Miira M. Klemetti, Risto P. Roine, Jaana Lindström, Maijaliisa Erkkola, Risto J. Kaaja, Maritta Pöyhönen-Alho, Aila Tiitinen, Emilia Huvinen, Sture Andersson, Hannele Laivuori, Anita Valkama, Jelena Meinilä, Hannu Kautiainen, Johan G. Eriksson, Beata Stach-Lempinen. Gestational Diabetes Mellitus Can Be Prevented by Lifestyle Intervention: The Finnish Gestational Diabetes Prevention Study (RADIEL). Diabetes Care, 2015; dc150511 DOI: 10.2337/dc15-0511
Subscribe to:
Posts (Atom)